Jakarta, CNBC Indonesia – Tren makan tabungan bukan hanya melanda warga miskin di Indonesia, tetapi juga korporasi.
Sebagai informasi, per Oktober 2023, pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) simpanan dengan tiering lebih dari Rp 5 miliar tumbuh terbatas atau hanya 0,1% ytd. Pada bulan sebelumnya kelompok simpanan tersebut kontraksi 1,1% ytd.
Padahal per Desember 2022, simpanan dengan tiering lebih dari Rp 5 miliar naik 13,9% secara tahunan (yoy), atau di atas total pertumbuhan DPK pada periode tersebut.
Selain itu, berdasarkan survei Bank Indonesia (BI), pembiayaan korporasi pada November 2023 menurun. Hal tersebut tercermin dari Saldo Bersih Tertimbang (SBT) pembiayaan korporasi sebesar 14,9%, turun dari sebelumnya 15,7%.
Namun rupanya salah satu penyebab lesunya kredit lantaran korporasi lebih memilih menggunakan dana sendiri.
Sumber pembiayaan korporasi terutama berasal dari dana sendiri meningkat menjadi 63,9% pada bulan November dari yang sebelumnya sebesar 63,2%. Sementara itu, pembiayaan dari perbankan dalam negeri turun menjadi 4,6%, memberikan porsi pembiayaan korporasi yang paling kecil.
Pun dari data BI menunjukkan bahwa giro mengalami perlambatan pertumbuhan paling dalam per Oktober 2023. Pada akhir kuartal III giro masih tumbuh 11,0% yoy, sedangkan bulan selanjutnya hanya naik 1,8% yoy.
Head of Macroeconomics and Financial Market Research Bank Mandiri Diah Ayu Yustina mengatakan data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menunjukkan bahwa selama pandemi sampai setahun sesudahnya, jumlah pemilik dana nominal tinggi yang diasumsikan korporasi telah meningkat.
“Karena saat pandemi relatif terbatas, jadi saving-nya tinggi. Nah, ini hal yang lumrah ketika mobilitas sudah meningkat, pandemi sudah berubah jadi endemi, korporasi kemudian menggunakan dana yang tadinya disimpan untuk melakukan ekspansi,” kata Diah saat Macroeconomic Outlook, dikutip Kamis (21/12/2023).
Chief Economist Bank Mandiri Andry Asmoro menyebut penyebab fenomena pembiayaan dana korporasi dari dana sendiri ini karena pendapatan perusahaan-perusahaan terutama sektor komoditas itu masih cukup baik. Sehingga mereka banyak memiliki kas.
Ke depannya, kata Asmoro, tren suku bunga diharapkan akan menurun tahun depan dan tahun 2025. Ini membuka peluang dan meningkatnya lagi potensi permintaan kredit.
Menurutnya, ini menjadi peluang bagi sektor perbankan di tahun 2024 nanti dan juga 2025 untuk menggenjot penyaluran kredit.
Tepisah, Direktur Eksekutif Center of Reform Economics (CORE) Mohammad Faisal menduga fenomena makan tabungan di masyarakat Indonesia karena ada penurunan pendapatan, sehingga porsi tabungan harus diambil untuk menutupi kebutuhan.
“Konsumsi ini ada primer sampai tersier. Primer ini tidak bisa dikurangi, jadi kalau kurang mau tidak mau harus ambil dari tabungan,” katanya kepada CNBC Indonesia, dikutip Kamis, (21/12/2023).
Berdasarkan Survei Konsumen dari Bank Indonesia, rasio tabungan terhadap pendapatan per Oktober 2023 turun jauh dibandingkan posisi sebelum pandemi Covid-19 atau Oktober 2019.
Pada bulan kesepuluh tahun ini rasio simpanan terhadap pendapatan masyarakat Indonesia sebesar 15,7%. Pengeluaran dan pembayaran cicilan, masing-masing 76,3% dan 8,8%.
Pada bulan yang sama tahun 2019, rasio simpanan terhadap pengeluaran masyarakat di Tanah Air masih jauh lebih besar, yakni 19,8%. Pasalnya pengeluaran dan pembayaran cicilan pada periode itu sebesar 68% dan 12,2%.
Berdasarkan data BI, kelompok masyarakat dengan pendapatan Rp 4,1 juta hingga Rp 5 juta yang mengalami penurunan rasio simpanan terhadap pendapatan paling dalam atau sebesar 460 basis poin (bps). Kemudian disusul oleh kelompok pendapatan Rp 2,1 juta hingga Rp 3 juta, yakni merosot 400 bps.
Kelompok pendapatan Rp 1 juta hingga Rp 2 juta yang tercatat mengalami penurunan rasio paling kecil atau 180 bps. https://mesintik.com/