Mega Proyek JSS Idaman SBY, Kenapa Tak Disentuh Jokowi?

Jakarta, CNBC Indonesia – Mega proyek yang terdampak pergantian kepemimpinan di Indonesia, Jembatan Selat Sunda (JSS), kembali menjadi sorotan publik. Pemicunya ialah muncul kekhawatiran akan batalnya pembangunan mega proyek lain seusai Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, khususnya proyek Ibu Kota Nusantara (IKN).

Hal ini disebabkan pernyataan salah satu capres, yakni Anies Baswedan. Secara tersirat, dia menyatakan akan melanjutkan proyek IKN jika terpilih menjadi presiden pengganti Joko Widodo. Presiden Jokowi sendiri juga terbukti tak melanjutkan proyek JSS yang telah dirancang oleh pendahulunya, yakni Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Padahal JSS tercatat sudah masuk tahap studi kelayakan yang dilakukan oleh Tim 7, meskipun hasil kongkritnya tak pernah muncul ke publik. Tim 7 dibentuk pada 2012 beranggotakan menteri keuangan, menteri pekerjaan umum, menteri hukum dan HAM, menteri perindustrian, sekretaris kabinet, menteri sekretaris negara, dan menteri perencanaan pembangunan nasional/kepala Bappenas.

Dikutip dari website Kementerian PUPR, Menteri Pekerjaan Umum (PU) yang saat itu dijabat oleh Djoko Kirmanto mengatakan bahwa pembangunan JSS aman walaupun dibangun dekat dengan daerah rawan bencana gunung berapi, yakni pusat gunung Anak Krakatau. Sebab, jarak JSS dirancang berjarak 50 km dari Gunung Anak Krakatau.

“Enggak apa-apa wong jaraknya nanti kan 50 km,” kata Djoko Kirmanto saat Rapat Kerja dengan Komisi V DPR RI pada 2011 silam. Ucapan itu ia tiru dari pernyataan pakar geologi termasuk ahli vulkanologi kegempaan Surono.

Djoko juga menyatakan, urgensi pembangunan JSS dapat meningkatkan sinergi sosial ekonomi antara Jawa dan Sumatera yang mempunyai kontribusi lebih dari 80% perekonomian Indonesia. Selain itu pembangunan ini juga untuk antisipasi perkembangan regional dengan akan dibangunnya Asia and Asian Trans Highway.

Wakil Menteri Perhubungan yang kala itu dijabat Bambang Susantono, kini Kepala OIKN, juga menyatakan, pembangunan JSS akan menyatukan Selat Malaka dan Selat Sunda dan memudahkan transportasi sehingga menjadi pendorong arus lalu lintas yang sangat cepat.

Apabila dilakukan, maka truk-truk yang biasanya melakukan penyebrangan melalui Merak atau Bakauheuni akan lebih sedikit dan infrastruktur jalan bisa lebih mudah untuk dilakukan perbaikan.

“Pembangunan JSS, akan memberikan efek positif untuk perkembangan perekonomian di Jawa dan Sumatera. Pemerataannya bisa mulai dilakukan dengan koridor ekonomi yang baru dan 80% akan kuat di wilayah Barat,” ujarnya pada 2012 silam.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian yang saat itu diemban oleh Hatta Rajasa juga mengklaim, sudah banyak investor asing seperti Korea dan China ingin ikut serta dalam proyek ini.

“Peminat cukup banyak dan Negara-negara sahabat seperti Korea dan China. Korea sangat ingin membantu dalam konteks teknologi tapi Presiden (SBY) sudah menetapkan pembangunan itu harus menggunakan otak Indonesia, harus menggunakan insinyur-insinyur Indonesia, designnya Indonesia, dan diharapkan menjadi icon Indonesia,” tegasnya pada 2013.

Ia juga berharap proses pembuatan studi kelayakan atau feasibility study (fs) dapat selesai pada 2014 dan proses pembangunan jembatan penghubung Jawa dan Sumatera bisa segera dimulai. Namun, hingga tahun akhir pemerintahan SBY itu, pengerjaan JSS tak kunjung terealisasi.

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional yang pada November 2014 dijabat oleh Andrinof Chaniago menjelaskan, proyek itu tidak dilanjutkan Presiden Joko Widodo karena bertentangan dengan semangat pemerintahannya yang ingin pembangunan perekonomian nasional berbasis kemaritiman.

“Pembangunan jembatan Selat Sunda akan memberikan lebih banyak dampak negatif dibandingkan positif. Hal tersebut tidak sesuai dengan semangat kemaritiman dan malah akan meningkatkan kesenjangan pembangunan antara Pulau Jawa dengan wilayah lainnya di Indonesia” kata Andrinof dikutip dari CNN Indonesia.

Dikutip dari website Kementerian PUPR, JSS adalah jembatan sepanjang 29 kilometer dengan ketinggian bangunan setidaknya 200 meter dari dasar sampai permukaan air laut. Khusus di atas permukaan laut, JSS dirancang berdiri setinggi 75 meter.

Melintasi Selat Sunda dari pantai di kawasan Anyer hingga di kawasan Bakauheni, lebar jembatan dirancang 60 meter persegi. Terdiri dari 2×3 jalur lalu lintas, dan 2×1 jalur darurat. Jembatan ini dilengkapi lintasan ganda (double track) rel kereta api, pipa gas, pipa minyak, kabel fiber optik, dan kabel listrik.

Jembatan ini bakal terletak di areal yang merupakan zona gempa dengan arus gelombang laut yang deras dan berlokasi di Selat Sunda yang memiliki palung laut sedalam 150 meter dan lebar sampai dua kilometer.

Namun, proyek yang diperkirakan akan menelan biaya Rp 100 triliun atau US$ 15 miliar itu didesain dapat menahan gempa sampai 9 Skala richter (SR).

Sejarah proyek JSS sebetulnya juga sudah cukup lama muncul. Pada 1960, proyek ini sudah mulai keluar dari rahim ketika seorang profesor bernama Sedyatmo mencetuskan konsep Tri Nusa Bimasakti, atau interkoneksi antar tiga pulau yakni Jawa-Sumatera-Bali.

Konsep itu lalu mulai dilirik pada 1986 ketika Presiden Soeharto menugaskan Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) untuk mengkaji Tri Nusa Bimasakti. Jembatan Akashi Kaikyo di Jepang dan Jembatan Messin di Italia menjadi role model dalam studi ini. Akan tetapi, hingga rezim Orde Baru tumbang proyek tidak dilaksanakan.

Pada era Presiden Habibie wacana pembangunan jembatan ultra-panjang kembali bergulir. Habibie menugaskan menterinya untuk kembali mengkaji proyek ini. Krisis moneter yang terjadi pada 1998 membuat kajian ini terhenti.

Barulah pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono rencana pembangunan Jembatan Selat Sunda benar-benar digarap serius. Pada 2004, Pemerintah Provinsi Banten dan Lampung, bekerja sama dengan perusahaan milik pengusaha Tommy Winata, Artha Graha menghidupkan kembali ide proyek ini.

Untuk membiayai proyek ini, Pemprov Lampung dan Banten menggandeng pihak swasta yang dikomandoi oleh Artha Graha. Dari hasil kajian, diperkirakan butuh dana hingga Rp 100 triliun untuk membangun jembatan ini.

Presiden SBY memberikan restu dengan menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) No 86 Tahun 2011 tentang Pengembangan Kawasan Strategis dan Infrastruktur Selat Sunda (KSISS). Lewat Perpres itu, peletakan batu pertama ditargetkan akan terlaksana pada 2014. Namun, hingga Presiden SBY lengser pada 2014, groundbreaking pembangunan jembatan tidak pernah dilaksanakan.

Presiden Jokowi yang menerima estafet kepemimpinan dari SBY tak pernah menyinggung lagi kelanjutan proyek ini. Andrinof Chaniago pada Oktober 2014 yang kala itu menjabat sebagai Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional mengatakan Presiden memang tidak berencana melanjutkan proyek ini.

“Sampai sekarang tak pernah ada pernyataan dari Bapak Presiden akan memajukan itu ke dalam program proyek infrastruktur,” tuturnya 31 Oktober 2014 dikutip dari Detikcom. https://madusekali.com/

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*